Sebuah Ringkasan
Cerita Sawerigading yang termuat dalam Sure’ I La Galigo
(Periksa Edisi H. Kern, 1939), dimulai ketika para dewa dilangit
bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru
anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi
(dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan
keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak
menggantikan ayahnya penguasa di Luwu. Dari perkawinan Batara
Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We
Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak
menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara
Lattu’.
Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We
Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng
ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit.
Dari perkawinan keduanya lahirlah sawerigading dan tenriabeng sebagai
anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan .
Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus
dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan
saling jatuh cinta.
Namun demikian suratan menentukan yang lain, sebab dirantau
Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang
saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya.
Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil
melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud
itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak,
karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar
akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan
serta seluruh negeri kebingungan.
Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng
membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi
jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perwakannya sama
benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke
Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan
tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi
hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading
mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih
dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tangah laut dalam
perjalananmenuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh
tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari
seorang selirnya [ I We Cimpau ], Sawerigading memperoleh seorang
anak bernama We Tenriwaru.
Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau,
menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika
I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua
yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan
sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur
hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi
sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa
ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe
menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam
pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewadewa
yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi
dengan masing-masing seorang wakil.
Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya
masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang
ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke
peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk
menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi.
Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian
kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke
Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit
ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang
pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan
untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.
Beberapa Pandangan tentang Cerita Sawerigading
Dipandang dari berbagai sudut, beberapa ahli telah
mengemukakan pendapatnya tentang cerita Sawerigading. Fachruddin
Ambo Enre, dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge
(1993), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskah
Sure’Galigo, yaitu sebagai naskah mitos dan legenda, sebagai naskah
sejarah dan sebagai karya sastra.
Pendapat yang menyatakan sebagai mitos dan legenda cukup
beralasan sebab dalam cerita tersebut terdapat ciri-ciri ceerita yang
berkaitan dengan mitos penciptaan oleh dewa di langit dengan mengirim
anaknya Batara Guru dan We Nyilitomo ke bumi. Batara Gurulah yang
menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau.
Menyusuli kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti :
ubi, ke;adi, pisang, tebu dan lainnya. Kekuatan supernatural yang
dimiliki para tokohnya, seperti naik ke langi, turun ke peretiwi, atau
menyeberang ke maja [ dunia roh ], kemampuannya meredakan angin
ribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati
dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan
aspek budaya lainnya merupakan ciri-ciri cerita mitos yang umum.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai
legenda didasarkan pada benda-benda alam yang dihubungkan dengan
tokoh Sawerigading, seperti Bulupoloe di dekat malili, dikatakan sebagai
bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk
dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya Batu cadas
di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut
sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora,
daerah mangkedek, tanah Toraja terdapat batu yang dianggap
penjelmaan We Pinrakasi, isteri Sawerigading yang meninggal dalam
keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh.
Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan
yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma
menjadi batu. Gunung batu di daerah Bambapuang [ Enrekang ], yang
dari jauh nampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu
Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong besar yang
terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa
berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula
kepingin perahu yang terdapat di Bontote’ne dianggap perahu
Sawerigading.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading
mempunyai nilai sejarah, yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng yang
menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang
bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum
bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La
Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah
raja-raj di Sulawesi Selatan [Lontara Pangoriseng], di puncak silsilah itu
terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigadin, Batara Lattu’ dan Batara
Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri
untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan
meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut
tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah , tetapi mereka mengklaim
bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar
ceritanya adalah fiksi.
Cerita Sawerigading dianggap sebagai karya sastra oleh beberapa
tokoh antara lain Raffles, Matthes, R.A. Kern, A. Zainal Abidin Farid,
cerita Sawerigading adalah sastra kuno yang dianggap suci oleh Bugis
tetapi bukan sejarah. Demikian pula Fachruddin menganggap Sure’
Galigo adalah sastra suci.
Nilai-nilai Budaya dalam Cerita Sawerigading
Dalam cerita Sawerigading dapat diungkap beberapa nilai
budaya antara lain : nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang
menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita
ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di
bumi [ mulatau ] yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan
perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari
cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat.
Beberapa kepentingan cerita itu dalam kajian ilmu-ilmu sosial
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Nilai sejarah dalam cerita Sawerigading dapat dilihat faktanya dengan
adanya silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan yang menghubungkan
keturunan mereka dari Sawerigading. Namun demikian fakta sejarah
ini perlu mengalami telaah kritis dengan memilah-milah antara fakta
sejarah dengan cerita mitos yang telah diselipkan dalam penyusunan
silsilah tersebut.
b. Nilai mitos dan legenda sangat dominan dalam mewarnai cerita
Sawerigading. Terbukti dengan alur cerita, tokoh cerita tempat dan
peristiwa cerita, sesuai dengan ciri-ciri yang dikategorikan cerita
mitos dan legenda.
c. Walaupun cerita ini kurang bernilai sejarah dan lebih dominan
bernilai mitos dan legenda, tetapi cerita ini dapat membantu dalam
pengungkapan bukti-bukti yang bernilai arkeologis dalam merekonstruksi
sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.
d. Semboyan daerah Luwu sebagai bumi Sawerigading, artinya
masyarakat Luwu mengidentifikasikan jati diri mereka dengan
seorang tokoh mitologis agar dapat mempunyai implikasi positif.
Mungkin dapat di bandingkan dengan menyebut Irak sebagai bumi
Abunawas.
Cerita Sawerigading yang termuat dalam Sure’ I La Galigo
(Periksa Edisi H. Kern, 1939), dimulai ketika para dewa dilangit
bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru
anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi
(dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan
keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak
menggantikan ayahnya penguasa di Luwu. Dari perkawinan Batara
Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We
Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak
menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara
Lattu’.
Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We
Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng
ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit.
Dari perkawinan keduanya lahirlah sawerigading dan tenriabeng sebagai
anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan .
Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus
dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan
saling jatuh cinta.
Namun demikian suratan menentukan yang lain, sebab dirantau
Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang
saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya.
Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil
melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud
itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak,
karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar
akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan
serta seluruh negeri kebingungan.
Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng
membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi
jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perwakannya sama
benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke
Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan
tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi
hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading
mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih
dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tangah laut dalam
perjalananmenuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh
tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari
seorang selirnya [ I We Cimpau ], Sawerigading memperoleh seorang
anak bernama We Tenriwaru.
Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau,
menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika
I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua
yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan
sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur
hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi
sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa
ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe
menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam
pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewadewa
yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi
dengan masing-masing seorang wakil.
Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya
masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang
ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke
peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk
menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi.
Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian
kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke
Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit
ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang
pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan
untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.
Beberapa Pandangan tentang Cerita Sawerigading
Dipandang dari berbagai sudut, beberapa ahli telah
mengemukakan pendapatnya tentang cerita Sawerigading. Fachruddin
Ambo Enre, dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge
(1993), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskah
Sure’Galigo, yaitu sebagai naskah mitos dan legenda, sebagai naskah
sejarah dan sebagai karya sastra.
Pendapat yang menyatakan sebagai mitos dan legenda cukup
beralasan sebab dalam cerita tersebut terdapat ciri-ciri ceerita yang
berkaitan dengan mitos penciptaan oleh dewa di langit dengan mengirim
anaknya Batara Guru dan We Nyilitomo ke bumi. Batara Gurulah yang
menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau.
Menyusuli kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti :
ubi, ke;adi, pisang, tebu dan lainnya. Kekuatan supernatural yang
dimiliki para tokohnya, seperti naik ke langi, turun ke peretiwi, atau
menyeberang ke maja [ dunia roh ], kemampuannya meredakan angin
ribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati
dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan
aspek budaya lainnya merupakan ciri-ciri cerita mitos yang umum.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai
legenda didasarkan pada benda-benda alam yang dihubungkan dengan
tokoh Sawerigading, seperti Bulupoloe di dekat malili, dikatakan sebagai
bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk
dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya Batu cadas
di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut
sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora,
daerah mangkedek, tanah Toraja terdapat batu yang dianggap
penjelmaan We Pinrakasi, isteri Sawerigading yang meninggal dalam
keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh.
Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan
yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma
menjadi batu. Gunung batu di daerah Bambapuang [ Enrekang ], yang
dari jauh nampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu
Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong besar yang
terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa
berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula
kepingin perahu yang terdapat di Bontote’ne dianggap perahu
Sawerigading.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading
mempunyai nilai sejarah, yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng yang
menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang
bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum
bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La
Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah
raja-raj di Sulawesi Selatan [Lontara Pangoriseng], di puncak silsilah itu
terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigadin, Batara Lattu’ dan Batara
Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri
untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan
meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut
tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah , tetapi mereka mengklaim
bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar
ceritanya adalah fiksi.
Cerita Sawerigading dianggap sebagai karya sastra oleh beberapa
tokoh antara lain Raffles, Matthes, R.A. Kern, A. Zainal Abidin Farid,
cerita Sawerigading adalah sastra kuno yang dianggap suci oleh Bugis
tetapi bukan sejarah. Demikian pula Fachruddin menganggap Sure’
Galigo adalah sastra suci.
Nilai-nilai Budaya dalam Cerita Sawerigading
Dalam cerita Sawerigading dapat diungkap beberapa nilai
budaya antara lain : nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang
menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita
ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di
bumi [ mulatau ] yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan
perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari
cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat.
Beberapa kepentingan cerita itu dalam kajian ilmu-ilmu sosial
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Nilai sejarah dalam cerita Sawerigading dapat dilihat faktanya dengan
adanya silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan yang menghubungkan
keturunan mereka dari Sawerigading. Namun demikian fakta sejarah
ini perlu mengalami telaah kritis dengan memilah-milah antara fakta
sejarah dengan cerita mitos yang telah diselipkan dalam penyusunan
silsilah tersebut.
b. Nilai mitos dan legenda sangat dominan dalam mewarnai cerita
Sawerigading. Terbukti dengan alur cerita, tokoh cerita tempat dan
peristiwa cerita, sesuai dengan ciri-ciri yang dikategorikan cerita
mitos dan legenda.
c. Walaupun cerita ini kurang bernilai sejarah dan lebih dominan
bernilai mitos dan legenda, tetapi cerita ini dapat membantu dalam
pengungkapan bukti-bukti yang bernilai arkeologis dalam merekonstruksi
sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.
d. Semboyan daerah Luwu sebagai bumi Sawerigading, artinya
masyarakat Luwu mengidentifikasikan jati diri mereka dengan
seorang tokoh mitologis agar dapat mempunyai implikasi positif.
Mungkin dapat di bandingkan dengan menyebut Irak sebagai bumi
Abunawas.